Screemo – Di tengah pelonggaran tarif impor Amerika Serikat, harga gadget di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda turun. Harga produk elektronik global tetap tinggi karena ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China yang belum mereda. Meski ada pembebasan tarif untuk smartphone dan laptop, faktor global lain tetap menekan pasar Indonesia.
Presiden Donald Trump kembali memanaskan perang dagang lewat kebijakan tarif impor yang kontroversial. China menjadi sasaran utama dengan tarif total mencapai 145 persen sejak 14 April 2025. Langkah ini membuat perusahaan-perusahaan elektronik dunia mulai kewalahan menyesuaikan harga dan distribusi. Produk dari negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan Vietnam juga terkena tarif tinggi. Indonesia tak luput, dengan tarif mencapai 32 persen untuk beberapa jenis produk ekspor ke AS. Tarif ini membuat biaya produksi dan pengiriman barang ke pasar internasional menjadi semakin mahal.
“Baca juga: Shokz OpenFit 2 Hadir di Indonesia: Earbuds Open-Ear Premium untuk Pengguna Aktif”
Kabar baik datang saat Trump mengumumkan pengecualian untuk produk seperti smartphone dan laptop. Barang-barang itu tidak terkena tarif 145 persen seperti produk elektronik lainnya dari China. Pengecualian berlaku sejak 11 April 2025 dan dianggap sebagai angin segar oleh banyak produsen. Namun, produk tersebut tetap dikenakan tarif dasar 20 persen yang sudah berlaku sejak awal tahun. Artinya, beban harga masih tetap ada meski tidak sebesar produk elektronik lain dari China.
Sebagian besar produksi Apple terjadi di China dan bergantung pada rantai pasok multinasional. Komponen seperti prosesor, kamera, layar, dan memori berasal dari berbagai negara. Foxconn dan Pegatron adalah mitra utama Apple yang merakit produk di pabrik besar di China. Pabrik-pabrik ini memproduksi jutaan perangkat dalam waktu singkat dengan efisiensi tinggi. Jika produksi dipindahkan ke AS, maka biaya akan melonjak drastis dan butuh waktu bertahun-tahun.
Di Indonesia, pengaruh tarif impor terasa tidak langsung namun tetap signifikan. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah sejak awal tahun 2025. Rupiah sempat menyentuh Rp 17.171 pada 7 April berdasarkan data kontrak NDF. Saat ini, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 16.800 per dollar AS. Pelemahan mata uang ini membuat harga barang impor menjadi lebih mahal bagi konsumen.
Kondisi ini membuat konsumen berpikir ulang sebelum membeli produk elektronik. Sebagian besar mulai menunda pembelian atau memilih perangkat yang lebih terjangkau. Beberapa konsumen memilih membeli iPhone 16 lebih awal, sebelum harga naik. Produsen pun dihadapkan pada dilema besar: menaikkan harga atau menyerap biaya tambahan. Langkah apapun yang diambil, margin keuntungan dan loyalitas konsumen bisa terpengaruh.
“Simak juga: Pengacara sebagai Penjaga Hak: Peran Kritis dalam Sistem Hukum”
Sebagian smartphone yang dijual di Indonesia memang dirakit secara lokal dari CKD dan SKD kit. Namun, Indonesia belum punya posisi penting dalam rantai pasok elektronik global. Produksi lokal sebagian besar hanya melayani pasar domestik dan belum menyasar ekspor secara besar-besaran. Infrastruktur dan kebijakan industri Indonesia masih kalah saing dibanding negara tetangga. Relokasi manufaktur dari China justru lebih banyak mengarah ke India dan Vietnam.
Meski ada pembebasan tarif untuk produk tertentu, risiko tarif baru masih menghantui industri global. Smartphone dan laptop tetap dalam radar keamanan nasional AS dan berpotensi dikenakan regulasi baru. Kondisi pasar tetap tidak stabil, membuat produsen dan konsumen sulit membuat rencana jangka panjang. Para analis menyarankan konsumen membeli sekarang sebelum harga makin melonjak. Harga gadget lebih mungkin naik daripada turun dalam waktu dekat, menurut para pengamat pasar.
Tarif dan kebijakan dagang Trump sangat dinamis dan bisa berubah dalam waktu singkat. Negara-negara mitra dagang AS pun menyiapkan respons masing-masing terhadap tarif ini. China sudah membalas dengan menaikkan tarif impor untuk produk asal Amerika Serikat. Ketegangan dagang ini belum menunjukkan tanda mereda dalam waktu dekat. Hal ini tentu memengaruhi harga gadget di Indonesia, yang tetap tertekan meski ada pembebasan tarif impor. Industri teknologi global harus terus beradaptasi dengan kebijakan ekonomi yang cepat berubah, termasuk dampaknya pada pasar elektronik Indonesia.