Screemo – Perusahaan chip asal Amerika Serikat (AS) kini menghadapi tantangan baru dalam hal ekspor ke China. Pemerintah AS, melalui Departemen Perdagangan, telah mengumumkan aturan baru yang mengharuskan perusahaan chip untuk mendapatkan izin ekspor jika ingin menjual produknya ke China. Aturan yang mulai berlaku sejak 9 April 2025 ini memengaruhi banyak pabrikan chip besar, seperti Nvidia, AMD, Intel, Micron, dan Broadcom. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan nasional AS dan melindungi ekonomi negara tersebut, sekaligus membatasi perkembangan teknologi mutakhir di China, seperti kecerdasan buatan (AI).
Sejak regulasi baru diberlakukan, perusahaan chip besar yang mengekspor produk ke China kini harus mengurus lisensi dari Departemen Perdagangan AS. Nvidia, misalnya, kini harus mendapatkan lisensi khusus untuk mengekspor chip AI H20 ke China, yang sebelumnya tidak memerlukan izin. AMD juga harus mendapatkan izin untuk produk GPU MI308, sementara Intel harus memperoleh lisensi untuk chip AI mereka, Intel Gaudi. Micron juga menghadapi pembatasan pada produk memori berkapasitas tinggi mereka, dan Broadcom terkena pembatasan pada chip komunikasi.
Dengan adanya aturan ini, semakin banyak produk chip yang tidak bisa diekspor ke China tanpa persetujuan pemerintah AS. Hal ini mempengaruhi distribusi dan kontrak yang sudah ada sebelumnya. Keterlambatan atau kegagalan dalam mendapatkan lisensi dapat menyebabkan kerugian finansial bagi perusahaan yang memiliki kesepakatan dengan pembeli di China.
“Baca juga: Harga Xiaomi Redmi Pad SE April 2025, Murah Banget di Bawah 2 Juta”
Tidak hanya mempengaruhi proses ekspor, aturan baru ini juga berdampak pada kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan chip asal AS. Misalnya, Nvidia diperkirakan akan mengalami kerugian hingga 5,5 miliar dollar AS pada kuartal pertama tahun fiskal 2026 (berakhir 27 April 2025). Kerugian ini berasal dari stok chip H20 yang belum terjual, kontrak-kontrak dengan perusahaan yang telah membeli chip tersebut, serta pesanan yang sudah disepakati sebelumnya. Jika lisensi untuk ekspor tidak terbit, Nvidia berisiko kehilangan keuntungan yang telah direncanakan.
AMD, perusahaan chip lainnya, juga menghadapi kerugian besar, diperkirakan sekitar 800 juta dollar AS (sekitar Rp 12,8 triliun). Kerugian ini akan terjadi jika mereka gagal mendapatkan izin untuk produk-produk GPU MI308 yang ingin diekspor ke China. Dalam hal ini, biaya gudang dan kontrak yang belum diselesaikan menjadi masalah besar yang harus dihadapi oleh AMD.
Selain kerugian finansial yang dihadapi, nilai saham perusahaan chip asal AS juga merosot setelah pengumuman aturan ekspor baru ini. Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh KompasTekno, saham perusahaan seperti Nvidia, AMD, Intel, Micron, dan Broadcom mengalami penurunan signifikan. Saham Nvidia turun sekitar 6,5 persen, AMD mengalami penurunan sebesar 6 persen, Intel turun 1,2 persen, Micron merosot 6,3 persen, dan Broadcom turun hingga 7,9 persen.
Penurunan nilai saham ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap dampak kebijakan ekspor yang lebih ketat terhadap kinerja keuangan perusahaan-perusahaan ini. Para investor merasa bahwa pembatasan ekspor ke China dapat mengurangi potensi pertumbuhan dan ekspansi global yang selama ini dinikmati oleh perusahaan-perusahaan chip besar.
Menurut Departemen Perdagangan AS, pembatasan ekspor chip bertujuan melindungi kepentingan keamanan nasional AS. Dengan membatasi akses China, AS ingin memperlambat pengembangan teknologi AI di negara tersebut. Langkah ini juga bertujuan mempertahankan dominasi teknologi AS di pasar global. Pembatasan fokus pada produk chip yang digunakan dalam teknologi canggih, seperti AI dan komputasi grafis. Chip dengan potensi besar di industri teknologi mutakhir menjadi perhatian utama pemerintah AS.
Meskipun pembatasan ini diharapkan dapat memperlambat kemajuan teknologi di China, dampak jangka panjang terhadap perusahaan-perusahaan chip AS mungkin tidak dapat dihindari. Pembatasan ekspor dapat menyebabkan penurunan permintaan produk chip di pasar China, yang selama ini menjadi pasar besar bagi perusahaan-perusahaan AS. Jika tidak segera diatasi, hal ini dapat mengarah pada kerugian yang lebih besar di masa depan.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan China mungkin akan mencari alternatif chip dari negara lain untuk menggantikan pasokan dari AS. Dalam jangka panjang, ini dapat mempengaruhi posisi dominasi perusahaan chip AS di pasar global.